Artikel ini disusun untuk menyoroti dilema yang dihadapi oleh para pelaut di kapal bunker tanker, sebelum dan setelah diberlakukannya MLC 2006 dengan tetap mempertahankan suara otentik dan perspektif Anda sebagai seorang perwira atau kru yang berpengalaman.
Dilema Pelaut Kapal Bunker: Aturan Istirahat MLC di Atas Kertas vs. Realita Kerja Tak Terduga.
Aturan internasional seperti Maritime Labour Convention (MLC) 2006 telah menjadi angin segar bagi para pelaut di seluruh dunia. Salah satu pilar utamanya adalah penegakan hak atas waktu istirahat yang layak: minimal 10 jam dalam periode 24 jam, yang dapat dibagi menjadi tidak lebih dari dua periode, di mana salah satunya harus setidaknya 6 jam. Namun, bagi kami yang mengabdikan diri di atas kapal bunker tanker, terutama di perairan sibuk seperti Singapura dan Malaysia, aturan tersebut seringkali terasa seperti sebuah cita-cita di atas kertas.
Realitanya jauh dari ideal. Jam kerja yang tidak menentu adalah santapan sehari-hari dan menjadi salah satu penyebab utama kelelahan kronis, kecelakaan kerja, dan menurunnya kesehatan para pelaut. Ini bukanlah masalah yang hanya dialami oleh kru bawahan; dari juru mudi (ABK) hingga perwira dan bahkan nakhoda, semua merasakan ritme kerja yang sama.
Budaya “ASAP” dan Jam Istirahat yang Terenggut.
Kunci dari masalah ini adalah tidak adanya perencanaan kerja yang matang. Perintah seringkali datang secara tiba-tiba dengan label yang paling kami kenal: “ASAP” – As Soon As Possible. Bayangkan skenario ini: di tengah keheningan malam, saat tubuh seharusnya memulihkan tenaga, sebuah perintah datang. Kapal harus segera berangkat untuk merapat dan memulai operasi bunkering.
Seorang perwira jaga, meskipun jadwalnya menunjukkan waktu istirahat, tidak punya pilihan lain. Dengan sigap, ia harus:
- Menyiapkan semua dokumen dan daftar periksa pra-keberangkatan (pre-departure checklist).
- Membuat rencana pelayaran (passage planning) singkat namun akurat.
- Mencari dan memastikan posisi kapal yang akan disandari.
- Membangunkan nakhoda untuk persetujuan dan keberangkatan kapal.
Tugas tidak berhenti di situ. Waktu istirahat yang seharusnya menjadi haknya kini sepenuhnya terpakai untuk tugas navigasi, komunikasi, hingga nantinya mengawasi proses operasi kargo. Pola yang sama terus berulang, menciptakan siklus kelelahan tanpa akhir. Baik kru dek maupun mesin, semua merasakan dampak serupa. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap semangat dan aturan MLC itu sendiri.
Namun saat saya bekerja pada masa itu aturan MLC belum ada seperti sekarang atau belum diberlakukan hingga ILO (International Labour Organization) melakukan konvensi pada tahun 2006 atau dikenal dengan MLC 2006.
Indonesia sendiri baru meratifikasi MLC 2006 pada tanggal 12 Juni 2017 dan mulai menerapkan secara penuh pada tanggal 12 Juni 2018. Penerapan MLC 2006 di Indonesia didukung oleh peraturan perundang-undangan turunan, seperti Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 58 tahun 2021.
Jika Begitu Sulit, Mengapa Bertahan?
Pertanyaan logis pun muncul: mengapa masih banyak pelaut yang memilih untuk bekerja dalam kondisi seperti ini? Jawabannya kompleks, sebuah pertaruhan antara kesulitan dan keuntungan yang unik di sektor ini.
- Gaji yang Mencukupi Kebutuhan: Meskipun gajinya mungkin tidak sebesar di kapal tanker samudra, penghasilan dari kapal bunker sudah lebih dari cukup untuk menafkahi keluarga di rumah.
- Dekat dengan “Rumah”: Kapal bunker umumnya beroperasi di area pelabuhan atau perairan terbatas (port limit). Ini berarti kami selalu dekat dengan daratan. Keistimewaan utamanya adalah koneksi internet yang stabil. Kemampuan untuk menghubungi keluarga setiap saat, melakukan panggilan video, dan merasa terhubung dengan orang-orang tercinta adalah kemewahan yang tak ternilai bagi seorang pelaut.
- Tantangan Laut yang Minimal: Berlayar di perairan tenang tanpa harus menghadapi ombak besar yang menantang adrenalin menjadi alasan kenyamanan tersendiri bagi banyak pelaut.
Kombinasi dari tiga faktor inilah yang membuat pekerjaan di kapal bunker, khususnya di Singapura dan Malaysia, tetap menjadi pilihan yang menarik.
Sebuah Pesan untuk Rekan Pelaut.
Berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang kru dan juga perwira di kapal bunker Singapura sejak tahun 1995, kondisi ini adalah sebuah realita yang harus dihadapi dengan bijak. Tips terbaik yang bisa saya bagikan adalah: manfaatkan setiap detik waktu luang untuk beristirahat dengan baik. Jangan korbankan waktu tidur untuk hal yang tidak penting, karena Anda tidak pernah tahu kapan panggilan “ASAP” berikutnya akan datang.
Tentu saja, semua yang dituliskan di sini bisa saja berbeda dengan apa yang Anda alami. Setiap kapal dan perusahaan memiliki dinamikanya sendiri. Namun, satu hal yang pasti: selalu utamakan kesehatan dan keselamatan Anda di atas segalanya.
Untuk semua rekan pelaut di perantauan, tetap semangat dan jaga diri.
Salam Pelaut!