Pelaut Versi Jadul vs Pelaut Zaman AI?

Pelaut Dulu vs. Pelaut Sekarang: Stigma yang Tak Lekang oleh Zaman?

Salam dari lautan!
Belakangan ini, jagat maya sempat diramaikan oleh video perseteruan antara seorang driver S***** Fo** dengan seorang pria yang mengaku “orang pelayaran”. Ujung-ujungnya terungkap kalau pria tersebut ternyata bukan pelaut sungguhan, hanya mengaku-ngaku saja. Tapi insiden ini seolah membuka kembali kotak pandora lama tentang citra pelaut di mata masyarakat darat. Kenapa ya, walau zaman sudah secanggih sekarang, nama pelaut masih sering terkesan “jelek”?

Tulisan ini mungkin akan sedikit menyinggung dan mengganggu bagi sebagian orang, tapi ini murni pandangan pribadi dari sudut pandang saya. Blog ini pun bukan blog besar, jadi mungkin tak akan dibaca banyak orang. Anggap saja ini sebagai curahan hati seorang anak lautan.

Potret Pelaut Tempo Dulu: Pulang Hanya Bawa Kolor
Mari kita mundur sejenak, mungkin sekitar 20 atau 30 tahun ke belakang. Stigma pelaut yang kita kenal sekarang sebenarnya berakar dari era ini. Cerita-cerita yang sering kita dengar dari para senior atau orang tua kita memang ada benarnya. Banyak pelaut zaman dulu yang berangkat ke laut dengan modal besar, tak jarang sampai harus jual sawah atau tanah warisan. Tujuannya satu: mengubah nasib.

Namun, apa yang terjadi saat mereka pulang? Sering kali, mereka kembali hanya dengan “membawa kolor”. Uang hasil jerih payah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun di tengah samudra, lenyap tak bersisa. Alasannya klasik: kena tipu, dirampok di pelabuhan, dan seribu satu alasan lainnya. Padahal, bukan rahasia lagi jika sebagian besar uang itu habis untuk foya-foya, mabuk-mabukan, dan tentu saja, “jajan” atau berganti-ganti perempuan di setiap pelabuhan yang disinggahi. Ini fakta, meski pahit. Tentu, tidak semua seperti itu, tapi oknum-oknum inilah yang membentuk citra negatif yang melekat kuat hingga kini.

Wajah Pelaut Masa Kini: Berlomba Menumpuk Pundi-Pundi
Sekarang, mari kita berlayar ke masa kini. Apakah mentalitas itu masih ada? Sebagian mungkin iya, tapi mayoritas pelaut sekarang sudah jauh berbeda. Era digital dan persaingan yang ketat telah mengubah cara pandang kami.

Pelaut sekarang adalah para pejuang devisa yang sesungguhnya. Kami berpacu dan bersaing untuk mengumpulkan pundi-pundi Dolar dan Rupiah. Ada semacam tekanan sosial tak tertulis di antara kami: “Kalau pelaut gak kaya, gak keren!”. Pulang dari laut harus bisa bangun rumah megah, beli mobil baru, dan menyekolahkan anak di tempat terbaik. Gagal memenuhi ekspektasi itu? Siap-siap saja jadi bahan omongan dan tertawaan di lingkungan sendiri.

Dari sinilah cerita modern dimulai. Fokus utama kami adalah menjadi sukses secara finansial, menjadi ujung tombak ekonomi keluarga.

Sisi Gelap Kemapanan: Uang, Wanita, dan Sebuah Tanda Tanya Besar
Nah, di sinilah letak ironinya. Ketika uang sudah terkumpul banyak, godaan baru pun muncul, dalam bentuk yang lebih “terstruktur”. Jika dulu pelaut dikenal suka “jajan”, sekarang isunya lebih kompleks. Sudah bukan rahasia umum lagi, banyak pelaut yang memiliki “wanita lain”. Bukan sekadar wanita simpanan, tapi istri kedua, ketiga, dan seterusnya.

Kenapa ini bisa terjadi? Alasannya rumit. Dari sisi pelaut, mungkin karena kesepian, merasa punya kekuatan finansial, atau sekadar pembuktian status. Tapi yang lebih membuat miris adalah fenomena dari sisi sebagian perempuan. Ada anekdot pedas yang beredar: “Pilih dimadu atau diracun? Yang penting uang.”

Seolah-olah, cinta dan kesetiaan kini bisa ditukar dengan nominal transferan bulanan. Istri di rumah seakan tak peduli suaminya menikah lagi, asalkan kiriman uang tetap lancar dan melimpah. Cintanya bukan lagi pada sosok suami, tapi pada slip gajinya. Ini masih menjadi sebuah tanda tanya besar bagi saya. Apakah ini simbiosis mutualisme yang menyakitkan? Apakah ini potret masyarakat kita yang semakin materialistis?

Tentu saja, saya harus tegaskan sekali lagi, ini adalah pandangan personal dan tidak mewakili semua pelaut atau semua istri pelaut. Ada jauh lebih banyak pelaut yang setia dan bertanggung jawab. Ada jauh lebih banyak istri pelaut yang tulus menjaga kehormatan rumah tangganya dengan keringat dan air mata.

Namun, stigma itu tetap ada karena cerita-cerita “gelap” seperti inilah yang lebih sering terdengar dan lebih menarik untuk dibicarakan. Pada akhirnya, baik pelaut dulu maupun sekarang, kami sama-sama berjuang melawan badai di lautan dan badai kehidupan di daratan.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda punya pandangan lain? Saya terbuka untuk setiap komentar, baik yang mendukung maupun yang keberatan.
Salam hangat dari tengah samudra.

Penulis sebagai Chief Officer di Kapal Bunker Singapore.

Floating Footer Navbar